Thursday, December 13, 2007

Agrowisata: Menikmati "Kayangan" di Pegunungan Dieng


Agrowisata: Menikmati "Kayangan" di Pegunungan Dieng

Dikutip dari Kompas, 24 Maret 2007

Kalau di Puncak, Jawa Barat, ada Gunung Mas, warga bisa jalan-jalan di kebun teh atau teawalk di pagi hari, di Jawa Tengah juga ada tempat untuk teawalk. Lokasinya juga tak kalah elok, yakni di lereng Pegunungan Dieng. Tepatnya di kawasan agrowisata perkebunan teh PT Tambi di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Hari masih pagi, sekitar pukul 05.00 pada awal Februari 2007. Dari balik jendela kamar homestay atau tempat penginapan, yang terlihat hanya saputan putih. Kabut masih tebal. Udaranya dingin sekali. Suhu udara saat itu kira-kira lima derajat Celcius.

Namun, kabut tebal dan udara dingin tak menghalangi sejumlah wisatawan asal Taiwan untuk meninggalkan tempat tidur mereka. Dengan mengenakan pakaian olahraga, mereka berjalan kaki menyusuri kebun teh melalui jalan setapak di antara hamparan tanaman teh yang menghijau. Di areal agrowisata Tambi yang berada pada ketinggian 800-1.800 meter di atas permukaan laut itu tersedia tiga rute teawalk, yakni rute pendek (1-2 km), rute menengah (2-3 km), dan rute jauh (3-9 km).
Selain teawalk, sebenarnya di area agrowisata itu pengunjung juga mengadakan kegiatan luar ruang lainnya yang lebih menantang, seperti outbond. Namun, pagi itu kegiatan tersebut tidak dilaksanakan sehingga keinginan untuk terjun meluncur dengan tali tak bisa tercapai. Untuk kegiatan pagi itu, banyak wisatawan memilih rute pendek yang tidak begitu melelahkan. Tak lebih dari satu jam, acara teawalk di rute pendek pun usai. Untuk mengisi waktu sambil menunggu dimulainya proses produksi teh, para wisatawan memilih beristirahat di gazebo. Apalagi di meja kuno panjang itu telah tersaji teh hangat.

Menyeruput teh di pagi yang masih diselimuti udara dingin ternyata nikmat sekali. Apalagi masih terdengar kicau burung-burung liar. Seusai minum teh, sebagian dari 20-an turis asal Taiwan itu kemudian menuju ke kawasan wisata di dataran tinggi Dieng untuk mengunjungi sejumlah candi peninggalan zaman Hindu tahun 800-an Masehi. Mereka juga mengunjungi Dieng Plateau Theater (DPT).

Teh hitam
Begitulah kira-kira kegiatan yang bisa dilakukan jika kita mengunjungi agrowisata perkebunan teh PT Tambi yang memproduksi teh hitam atau populer disebut black tea seperti yang umumnya dikonsumsi masyarakat. Sekitar 70 persen produksi teh diekspor, sisanya untuk memenuhi kebutuhan teh dalam negeri. Jika penggemar teh menjumpai teh merek Petruk, itulah produk teh Tambi. PT Tambi mempunyai kebun teh seluas 829,14 hektar yang terbagi dalam tiga unit perkebunan, yakni Unit Tambi, Unit Bedakah, dan Unit Tanjungsari.

Menurut Manajer Hubungan Masyarakat PT Tambi Yoyok Sukoyo, pada tahun 1865 perkebunan ini dikelola perusahaan Belanda bernama Bagelen Thee & Kina Maatschappij yang berkantor pusat di Belanda. Sedangkan segala urusan usaha di Indonesia ditangani NV John Peet yang berkantor di Jakarta. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan perkebunan ini dinasionalisasi, dan para pekerjanya diangkat menjadi pegawai Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).

Setelah Konferensi Meja Bundar tahun 1950, perusahaan ini dikembalikan ke pemilik semula. Namun, pada tahun 1954 perkebunan ini dijual ke NV eks-PPN Sindoro-Sumbing, perusahaan yang didirikan oleh eks pegawai PPN. Selanjutnya, pada tahun 1957 NV eks-PPN bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Wonosobo mendirikan perusahaan baru bernama PT Perkebunan Tambi.

Mengunjungi pabrik
Menurut Yoyok, agrowisata Tambi sudah dikembangkan, meliputi wisata bermalam di kawasan pegunungan dan juga menikmati minum teh. Sejak tahun 1994, agrowisata yang semula dikembangkan sebagai diversifikasi bisnis perusahaan teh ini telah menawarkan paket wisata petualangan arung jeram menyusuri Sungai Serayu. Kegiatan ini ditawarkan per paket untuk minimal 12 orang. Bagi wisatawan yang tertarik dengan paket arung jeram, tersedia pemandu atau pelatih yang profesional agar kegiatan bisa berlangsung nyaman dan aman.

Menurut Yoyok, wisata arung jeram itu awalnya hanya memenuhi permintaan wisatawan dari sebuah perusahaan dari Jakarta. Jumlah mereka biasanya minimal 12 orang. Awalnya, kegiatan arung jeram itu merupakan kegiatan terakhir dari pelatihan inti untuk pengembangan kerja sama dan tim, seperti program pelatihan manajemen luar ruang atau outward bound management training.

"Kalau soal suasana, lingkungan, dan infrastruktur, sejumlah agrowisata punya kemiripan satu sama lain. Tetapi, Tambi menawarkan (paket) menikmati teh dari perkebunan teh dataran tinggi, bukan dataran rendah. Teh dataran tinggi punya rasa khas," ujar Yoyok.
Yang membedakan dengan agrowisata lain barangkali adalah program wisata pabrik atau factory tour; di sini wisatawan diajak menyaksikan langsung proses pembuatan teh hitam. Pada sesi ini, wisatawan akan memahami bahwa rasa teh yang khas bukan hanya hasil dari pemprosesan daun teh yang memerlukan kecermatan dan higienis, tetapi juga berkat keahlian tangan-tangan terampil para pekerja pemetik teh yang umumnya sudah turun-temurun sejak zaman Belanda.

Menurut Partono (50), pekerja yang dulunya pemetik teh dari Desa Tegalrejo, para pemetik teh sudah bukan lagi buruh. Sejak perkebunan ini mengalami nasionalisasi, perusahaan menjadi milik pribumi. Pemetik teh diperlakukan dengan baik oleh pihak perkebunan. "Kami tetap tinggal di perkampungan dekat kawasan perkebunan. Sebagian ada pula yang telah memahami perlunya agrowisata. Malah ada yang jadi pemandu wisata jalan-jalan di kebun teh seperti saya ini," kata Suratijan, warga Desa Tanjungsari, Wonosobo.

Suratijan tidak hanya hafal dengan rute teawalk jarak pendek, tetapi juga jarak jauh. Meski wisatawan paling suka jalan-jalan di kebun teh mengambil jarak pendek, ada pula yang mengambil rute jarak jauh. Biasanya mereka adalah turis asing. Diantar Suratijan, wisatawan juga disuguhi kemahiran memetik daun teh. Secara sederhana, Suratijan menerangkan, petikan pucuk daun teh yang memenuhi syarat adalah daun dengan komposisi peco (P) plus dua atau tiga lembar daun. Daun muda dengan tiga lembar pucuknya lazim disebut pucuk burung, mirip gambar burung terbang di angkasa dalam lukisan pemandangan pedesaan.

Harga daun teh per kilogramnya tergantung penilaian petugas analisis pucuk. Kalau analisisnya memenuhi standar, harga berada pada kisaran Rp 235ˆRp 250 per kilogram. Apabila tak memenuhi standar, harganya di bawah Rp 220 per kg. Kata Suratijan, memetik teh tidak bisa sembarangan. "Salah petik daun juga (bisa) menyebabkan proses teh yang dihasilkan kurang bagus," kata Suratijan yang terlihat sangat akrab dengan para pemetik yang umumnya kaum perempuan bercaping dan berkebaya.

Nah, menyaksikan para pemetik teh di pagi yang cerah menjelang siang merupakan keasyikan tersendiri bagi para wisatawan di kebun teh Tambi. Maklum, panorama di barisan pegunungan Dieng itu sendiri sungguh luar biasa indah, sebagaimana makna yang terkandung di dalam nama Dieng. Konon, kata Dieng itu berasal dari bahasa Jawa Kuno, yakni di (rdi: gunung) dan hyang (dewa). Dengan demikian, secara harfiah Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.
Maka, tak ada salahnya kalau sekali waktu Anda menyempatkan diri menyaksikan langsung keelokan dan keindahan lokasi di lereng sebelah barat Sindoro-Sumbing yang memiliki pesona kahyangan itu.... (Winarto Herusansono)


untuk melihat foto2 Dieng silahkan klik http://artson.multiply.com/photos/album/208/_Pegunungan_Dieng_1_

Labels: , , ,